ASA YANG TERSISA

Rd;- Kabar ini sangat
mengejutkan, saya tidak pernah mengira jika harus saya terima dengan lapang
dada. Saya merasa harapan itu akan hilang selamanya dan tidak akan pernah saya dapatkan
kembali.

Saya tau
impian itu sangat mengejutkan untuk mereka, saya memang tidak pernah meminta
dari awal akan seperti ini. Tapi satu dua hal yang membuat saya kembali
berfikir bahwa impian ini harus terwujud bagaimanapun caranya, karena saya
yakin mampu untuk mewujudkanya.

Pesimis
mulai timbul ketika mereka sangat meyakinkan saya dengan ketidakmungkinan. Inflasi
di negeri ini semakin menjadi tapi sumber-sumber lain belum juga ditemukan
sampai hari ini, dan ini salah satu alasanya.

Semangat
itu hampir lenyap seolah tiada lagi tempat berharap, hingga membawa saya menjadi
ingat tentang kuasa bahwa hidup ini atas kehendak sang pencipta. Hanya kepadanya
saya berserah dan meminta ditengah kegelisahan yang semakin bergelora.

Saya terus
berusaha memungut kembali asa yang hancur meskipun sebenarnya masih berdiri
diatas abu-abu. Saya mencari dan terus mencari dimana petunjuk itu ada, sampai
akhirnya saya ingat sesuatu. Sosok mulia, baik dan memesona yang allah
hadirkan sebagai orang tua saya dan juga yang lain sampai waktu pertempuran
dengan kertas-kertas dan waktu yang terbatas, bahkan hingga saya dan yang
lain berjalan mulai meninggalkan bangku pendidikan.

Ya, dia
adalah seorang pengabdi negeri yang mengabdi dengan setulus hati. Saya dan yang
lain menjumpainya pada akhir perjalanan, hanya tersisa beberapa bulan menjelang
pendidikan ini akan berakhir tepatnya satu tahun terakhir. Namun ia sangat
mulia, dengan setia ia menemani langkah-langkah kami yang abu-abu menuju dunia
baru.

Menjelang
senja saya beranikan diri melepaskan smartphone satu-satunya untuk saya jadikan
ngokos perjalanan. Saya tau ini pilihan sulit dan bahkan saya sendiri tidak
memperhatikan resiko selanjutnya. Akhirnya benda itu terjual dengan Rp.
600.000;- sedikit lega rasanya bisa mendapatkan ini, walau sebenarnya ada
banyak hal yang sangat di khawatirkan dalam kepala.

Senja semakin
membalut adzanpun saling bersaut, saya sangat takut untuk menggunakan uang ini
karena beberapa hal tidak bisa diprediksi saat perjalanan nanti. Karena waktu
sudah memaksa untuk berbuka, bagi saya sebotol Aqua sudah cukup untuk pelepas
dahaga. Sembari menunggu kabar dari Ibu yang sangat saya tunggu, saya menepi ke
masjid untuk menunaikan sholat maghrib.

Setelah
selesai maghrib saya sedikit tenang, saya membangun interaksi pada tuhan (Allah
SWT.) memohon dan mengharap agar diberi kelancaran. Tidak lama handphone butut
berdering, sebuah pesan dari Ibu yang ku tunggu. Saya langsung menuju
kerumahnya, walau sebenarnya banyak jamaah meminta untuk menikmati takjil yang
tersedia.


Membaca ini saya jadi ingat sesuatu yang akhirnya dapat saya tulis kali ini.


Setiba disana
saya benar-benar gugup dan tidak tahu mesti bagaimana, hanya terdiam dengan
kekalutan. Banyak nasehat dan motivasi yang dilontarkan untu dapat membangun
pondasi harapan. Setidaknya hal tersebut mengembalikan keyakinan didalam diri,
sampai tak sadar teh panas itu tertelan hingga separuh. Tak lama ibu mengeluarkan
buku-buku, ia berharap agar dapat menjadi teman perjalanan saya.

Setelah
saya rasa cukup saya pamit dan meminta doa untuk perjalanan dan proses yang
akan saya hadapi. Saya berjalan pulang dan bergegas bersiap, mengingat pukul
delapan saya akan mulai berjalan. Saya kembali meminta restu pada ayah dan ibu,
meminta untuk tenang pada duniaku yang masih abu-abu. Sambil mencium tanganya mereka
berbisik ditelinga “Nak, ini ongkos terkahir. Untuk perjalanan kamu selanjutnya
bapak dan mamak belum tau akan cari dimana.”

Saya benar-benar
tak kuasa menahan tangis, tapi saya harus kuat dan mencoba meyakinkan mereka
bahwa semuanya akan baik-baik saja. Saya hanya bisa sadrah pada yang kuasa,
jika memang jalan yang saya tempuh bukan menjadi takdir, saya berharap ada
pengganti yang lebih baik.

Saya memulai
perjalanan itu.

Bagikan


Populer