Daftar Isi
- 1 Mengapa Kita Sering Terjebak Ekspektasi Tinggi?
- 2 Dampak Buruk Ekspektasi yang Tidak Realistis
- 3 Cara Mengelola Ekspektasi agar Tidak Terjebak Quarter Life Crisis
- 3.1 1. Sadari bahwa Ekspektasi Tidak Selalu Sama dengan Kenyataan
- 3.2 2. Fokus pada Proses, Bukan Hasil Akhir
- 3.3 3. Kurangi Perbandingan Diri dengan Orang Lain
- 3.4 4. Buat Tujuan yang Realistis dan Terukur
- 3.5 5. Latih Mindfulness dan Penerimaan Diri
- 3.6 6. Bicarakan Perasaanmu dengan Orang Lain
- 3.7 7. Belajar dari Kegagalan Tanpa Menyalahkan Diri
Gubuku.id – Quarter life crisis adalah masa ketika seseorang di usia 20-an atau awal 30-an merasa bingung tentang arah hidup, karier, cinta, hingga pencapaian pribadi. Menurut Psychology Today, krisis ini sering muncul karena seseorang merasa tidak sesuai dengan ekspektasi — baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan sekitar (sumber: Psychology Today, 2023).
Di era media sosial, ekspektasi semakin meningkat. Banyak orang membandingkan hidupnya dengan teman sebaya yang terlihat lebih sukses, punya karier mapan, atau sudah menikah. Hal ini menimbulkan tekanan dan rasa gagal, meski sebenarnya perjalanan hidup setiap orang berbeda.
Sebuah studi dari Journal of Adult Development juga menunjukkan bahwa lebih dari 60% individu di usia 25–33 tahun mengalami kebingungan hidup dan ketidakpuasan karena tidak mampu memenuhi ekspektasi pribadi atau sosial (sumber: Robinson, 2022). Artinya, ekspektasi yang tidak realistis memang menjadi penyebab utama munculnya quarter life crisis.
Mengapa Kita Sering Terjebak Ekspektasi Tinggi?
Ekspektasi sejatinya bukan hal buruk. Ia bisa menjadi motivasi untuk berkembang. Namun, masalah muncul ketika ekspektasi tidak sejalan dengan kenyataan.
Beberapa penyebab umum ekspektasi yang berlebihan antara lain:
-
Tekanan Sosial dan Perbandingan Diri
Media sosial menciptakan “ilusi kesempurnaan.” Melihat orang lain membeli rumah, liburan ke luar negeri, atau sukses di usia muda membuat kita merasa tertinggal. Padahal, seperti yang dijelaskan oleh Harvard Business Review (HBR), perbandingan sosial adalah salah satu penyebab utama stres dan menurunnya kepuasan hidup di kalangan anak muda (sumber: HBR, 2021). -
Harapan Orang Tua dan Lingkungan
Banyak anak muda tumbuh dengan ekspektasi dari keluarga — harus punya pekerjaan tetap, menikah di usia tertentu, atau berpenghasilan tinggi. Ketika realitas tidak sesuai, timbul rasa gagal dan tidak berharga. -
Perfeksionisme
Perfeksionisme membuat seseorang merasa harus selalu berhasil. Padahal hidup penuh ketidakpastian. Menurut American Psychological Association (APA), perfeksionisme yang tinggi berkorelasi dengan stres kronis dan gangguan kecemasan (sumber: APA, 2022).
Dampak Buruk Ekspektasi yang Tidak Realistis
Ekspektasi yang terlalu tinggi bisa menyebabkan tekanan mental serius. Beberapa dampaknya antara lain:
-
Merasa gagal dan tidak cukup baik, meskipun sudah berusaha keras.
-
Overthinking dan kecemasan terhadap masa depan.
-
Menurunnya motivasi, karena merasa semua usaha tidak menghasilkan apa-apa.
-
Isolasi sosial, karena malu membandingkan diri dengan orang lain.
Semua perasaan ini bisa mengarah pada quarter life crisis. Oleh karena itu, penting untuk mulai mengelola ekspektasi dengan bijak agar hidup terasa lebih tenang dan realistis.
Cara Mengelola Ekspektasi agar Tidak Terjebak Quarter Life Crisis
Berikut beberapa langkah sederhana namun efektif untuk mengelola ekspektasi dan menjaga keseimbangan emosional di usia muda:
1. Sadari bahwa Ekspektasi Tidak Selalu Sama dengan Kenyataan
Langkah pertama adalah memahami bahwa ekspektasi hanyalah “rencana ideal” — bukan jaminan hasil. Hidup memiliki banyak variabel yang tidak bisa dikontrol.
Menurut psikolog Dr. Elizabeth Lombardo dalam bukunya Better Than Perfect, semakin kita mencoba mengontrol hal di luar kemampuan kita, semakin besar rasa frustrasi yang muncul (sumber: Lombardo, 2014).
Cobalah untuk lebih fleksibel dalam menghadapi kenyataan. Alih-alih marah saat sesuatu tidak sesuai rencana, gunakan momen itu untuk belajar dan beradaptasi.
2. Fokus pada Proses, Bukan Hasil Akhir
Banyak orang merasa kecewa karena hasil tidak sesuai harapan, padahal proses yang mereka jalani sudah sangat berharga.
Psikolog Angela Duckworth dalam risetnya tentang grit menyebut bahwa kesuksesan lebih ditentukan oleh ketekunan dan konsistensi dalam proses, bukan hasil instan (sumber: Duckworth, 2016).
Ketika kamu fokus pada proses — belajar, mencoba, dan berkembang — kamu akan lebih mudah menerima hasil apapun dengan lapang dada.
3. Kurangi Perbandingan Diri dengan Orang Lain
Membandingkan diri adalah sumber utama stres di usia muda. Kamu tidak bisa menilai perjalanan hidup hanya dari pencapaian orang lain.
Menurut University of California, Berkeley, membandingkan hidup dengan orang lain di media sosial meningkatkan risiko depresi hingga 30% (sumber: UC Berkeley Study, 2021).
Solusinya: batasi konsumsi media sosial, atau ubah fokus dari “apa yang mereka punya” menjadi “apa yang bisa aku pelajari dari mereka.”
4. Buat Tujuan yang Realistis dan Terukur
Daripada menulis tujuan besar seperti “aku ingin sukses di usia 25,” cobalah membuat target kecil dan spesifik seperti “aku ingin menabung Rp500 ribu setiap bulan” atau “aku ingin menyelesaikan kursus online dalam dua bulan.”
Teknik ini disebut SMART goals — Specific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Time-bound (sumber: Doran, 1981, Management Review). Dengan cara ini, ekspektasi menjadi lebih realistis dan dapat dicapai.
5. Latih Mindfulness dan Penerimaan Diri
Mindfulness membantu kita fokus pada saat ini tanpa menghakimi diri sendiri. Dengan latihan kesadaran penuh, kamu bisa menerima bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, tapi itu tidak masalah.
Penelitian dari Harvard Health Publishing menyebutkan bahwa praktik mindfulness secara rutin dapat menurunkan tingkat stres dan meningkatkan kepuasan hidup (sumber: Harvard Health, 2020).
Kamu bisa mulai dengan meditasi singkat 10 menit setiap pagi, atau sekadar menulis jurnal rasa syukur setiap malam.
6. Bicarakan Perasaanmu dengan Orang Lain
Kamu tidak harus menghadapi krisis ini sendirian. Berbagi cerita dengan teman dekat, mentor, atau psikolog dapat membantu melepaskan beban ekspektasi yang menumpuk.
Menurut Mental Health Foundation UK, berbicara tentang perasaan adalah langkah penting untuk mengurangi tekanan emosional dan mencegah depresi (sumber: MHF, 2021).
7. Belajar dari Kegagalan Tanpa Menyalahkan Diri
Kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Setiap orang pernah gagal, bahkan tokoh besar seperti Steve Jobs atau J.K. Rowling juga mengalaminya.
Kuncinya bukan menghindari kegagalan, tapi belajar darinya. Dalam Stanford Business Review, disebutkan bahwa individu yang melihat kegagalan sebagai pengalaman belajar memiliki tingkat resiliensi 40% lebih tinggi (sumber: Stanford, 2022).
Jadi, ketika rencana hidup tidak berjalan sesuai ekspektasi, jangan menyerah. Gunakan momen itu sebagai peluang untuk tumbuh lebih kuat.
Quarter life crisis seringkali muncul karena ekspektasi yang tidak realistis — dari diri sendiri, orang lain, atau media sosial. Mengelola ekspektasi bukan berarti menurunkan standar hidup, tetapi menyadari bahwa hidup memiliki ritmenya masing-masing.
