Daftar Isi
- 1 1. Tekanan Sosial dari Lingkungan dan Media
- 2 2. Ekspektasi yang Terlalu Tinggi terhadap Diri Sendiri
- 3 3. Krisis Identitas dan Nilai Hidup
- 4 4. Perubahan Hidup yang Terlalu Cepat
- 5 5. Tidak Memiliki Dukungan Emosional yang Kuat
- 6 6. Ketidakstabilan Finansial dan Karier
- 7 7. Kehilangan Makna dalam Pekerjaan atau Kehidupan
- 8 8. Trauma Masa Lalu yang Belum Terselesaikan
- 9 9. Kurangnya Self-Awareness (Kesadaran Diri)
- 10 Cara Menghadapi Quarter Life Crisis
Gubuku.id – Quarter life crisis adalah masa di mana seseorang mulai mempertanyakan arah hidupnya. Biasanya terjadi di usia 20-an hingga awal 30-an, ketika seseorang mulai bertransisi dari masa remaja menuju dunia dewasa. Menurut psikolog klinis dr. Alexandra Robbins (dalam bukunya Quarterlife Crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties), masa ini ditandai dengan perasaan bingung, cemas, dan tidak puas terhadap kondisi hidup saat ini.
Banyak anak muda merasa seperti “tersesat” — tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan dalam hidup, karier, atau hubungan. Menurut survei yang dilakukan oleh LinkedIn (2022), sekitar 75% profesional muda berusia 25–33 tahun pernah mengalami quarter life crisis. Ini menunjukkan bahwa fenomena ini bukan hal kecil, melainkan bagian nyata dari perjalanan hidup manusia modern.
1. Tekanan Sosial dari Lingkungan dan Media
Salah satu penyebab quarter life crisis yang sering tidak disadari adalah tekanan sosial. Di era media sosial seperti sekarang, perbandingan hidup menjadi sangat mudah. Saat membuka Instagram atau TikTok, kita disuguhi pencapaian orang lain: teman yang sudah menikah, punya rumah, karier mapan, atau liburan ke luar negeri.
Tanpa sadar, hal itu menimbulkan perasaan insecure dan kurang percaya diri. Padahal, setiap orang punya waktu dan jalan hidup berbeda. Penelitian dari Journal of Social and Clinical Psychology (2018) menyebutkan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan dapat meningkatkan risiko perasaan cemas, stres, dan depresi, termasuk munculnya gejala quarter life crisis.
Tekanan sosial ini sering tidak disadari karena tampak “normal” — padahal membandingkan diri terus-menerus bisa membuat seseorang kehilangan arah hidupnya sendiri.
2. Ekspektasi yang Terlalu Tinggi terhadap Diri Sendiri
Banyak anak muda tumbuh dengan dorongan untuk “sukses sebelum usia 30 tahun”. Akibatnya, ketika realitas tidak sesuai ekspektasi, muncullah perasaan gagal dan cemas.
Menurut psikolog Carol Dweck (dalam teorinya tentang growth mindset), banyak orang memiliki fixed mindset — yaitu keyakinan bahwa kegagalan berarti tidak cukup pintar atau tidak berbakat. Padahal, kegagalan adalah bagian dari proses belajar.
Ekspektasi tinggi sering muncul dari harapan keluarga, lingkungan, atau diri sendiri. Tanpa disadari, kita memikul beban yang berat untuk membuktikan nilai diri melalui pencapaian. Inilah yang membuat banyak orang merasa tidak pernah cukup, walaupun sebenarnya mereka sudah berusaha keras.
3. Krisis Identitas dan Nilai Hidup
Quarter life crisis juga bisa dipicu oleh krisis identitas — yaitu perasaan tidak tahu siapa diri kita sebenarnya atau apa yang kita inginkan dalam hidup.
Menurut teori perkembangan Erik Erikson, pada tahap usia dewasa muda (18–35 tahun), seseorang sedang berjuang menemukan identitas dan makna hidup. Ketika seseorang tidak memiliki arah yang jelas, ia cenderung mudah merasa tersesat.
Misalnya, seseorang mungkin bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan minatnya, hanya karena tekanan ekonomi atau pengaruh orang tua. Akibatnya, muncul perasaan hampa dan kehilangan makna.
Krisis identitas ini sering tidak disadari karena banyak orang “terjebak” dalam rutinitas — mereka bekerja keras setiap hari, tapi merasa kosong di dalam.
4. Perubahan Hidup yang Terlalu Cepat
Memasuki usia 20-an sering kali berarti menghadapi banyak perubahan besar dalam waktu singkat: lulus kuliah, mencari pekerjaan, pindah kota, menjalin atau mengakhiri hubungan, hingga mulai mandiri secara finansial.
Perubahan yang bertubi-tubi ini bisa menimbulkan stres tinggi. Dalam American Psychological Association (APA), disebutkan bahwa perubahan besar dalam hidup — bahkan yang positif sekalipun — dapat menjadi pemicu stres kronis karena otak butuh waktu beradaptasi.
Sering kali, seseorang tidak menyadari bahwa ia sedang kelelahan secara emosional. Ia hanya merasa mudah marah, cemas, atau tidak fokus, padahal tubuh dan pikirannya sedang menyesuaikan diri dengan banyak transisi sekaligus.
5. Tidak Memiliki Dukungan Emosional yang Kuat
Salah satu penyebab yang sering terabaikan adalah minimnya dukungan sosial. Banyak orang di usia dewasa muda merasa harus mandiri, padahal manusia tetap butuh tempat berbagi cerita dan mendapat validasi emosi.
Penelitian dari Harvard Study of Adult Development (2020) menunjukkan bahwa hubungan sosial yang hangat dan suportif merupakan faktor kunci kebahagiaan dan ketahanan mental seseorang.
Ketika seseorang menghadapi tekanan hidup sendirian, tanpa dukungan teman atau keluarga, perasaan terisolasi bisa memperparah gejala quarter life crisis.
Dukungan emosional tidak selalu harus datang dari banyak orang — satu atau dua teman yang benar-benar mendengarkan dengan empati pun sudah sangat berarti.
6. Ketidakstabilan Finansial dan Karier
Banyak anak muda merasa cemas karena belum mencapai kestabilan finansial. Di usia 20-an, seseorang sering kali masih berjuang mencari pekerjaan tetap, menghadapi gaji rendah, atau mencoba bertahan dengan biaya hidup yang terus naik.
Menurut survei Deloitte Global Millennial Survey (2022), lebih dari 60% generasi milenial merasa cemas terhadap masa depan finansial mereka. Kekhawatiran ini bisa memicu rasa gagal dan ketidakpastian hidup, terutama jika dibandingkan dengan teman sebaya yang terlihat lebih “sukses”.
Masalah keuangan memang realistis, tetapi sering kali diperparah oleh persepsi negatif terhadap diri sendiri. Tanpa disadari, pikiran seperti “Aku belum sukses” atau “Aku tertinggal jauh” menjadi sumber stres utama.
7. Kehilangan Makna dalam Pekerjaan atau Kehidupan
Sebagian orang merasa hidupnya berjalan “otomatis”: bangun, bekerja, pulang, tidur — tanpa semangat atau tujuan yang jelas. Kondisi ini disebut existential emptiness atau kekosongan makna hidup.
Menurut Viktor Frankl dalam bukunya Man’s Search for Meaning, manusia tidak hanya butuh kenyamanan fisik, tapi juga makna hidup. Ketika seseorang tidak menemukan makna dalam aktivitas hariannya, ia mudah merasa hampa dan kehilangan arah.
Inilah yang sering terjadi pada mereka yang mengalami quarter life crisis — bukan karena mereka gagal, tetapi karena mereka belum menemukan alasan kuat untuk melangkah.
8. Trauma Masa Lalu yang Belum Terselesaikan
Beberapa orang mengalami quarter life crisis karena membawa luka batin dari masa lalu yang belum sembuh — misalnya hubungan buruk dengan orang tua, pengalaman ditolak, atau kegagalan besar yang meninggalkan rasa takut.
Menurut Psychology Today, trauma yang tidak disadari bisa muncul kembali saat seseorang mulai membangun kehidupan dewasanya. Misalnya, rasa takut gagal bisa membuat seseorang menunda-nunda keputusan besar, atau pengalaman tidak dihargai membuatnya sulit percaya diri.
Menyadari dan mengatasi trauma masa lalu bisa menjadi langkah penting dalam mengatasi quarter life crisis.
9. Kurangnya Self-Awareness (Kesadaran Diri)
Kesadaran diri adalah kemampuan untuk memahami perasaan, motivasi, dan pola pikir kita sendiri. Banyak orang menjalani hidup tanpa benar-benar mengenal dirinya.
Menurut Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence, self-awareness adalah fondasi dari kecerdasan emosional. Tanpa kesadaran diri, seseorang akan sulit mengenali apa yang sebenarnya membuatnya bahagia atau stres.
Quarter life crisis sering kali menjadi “alarm” dari tubuh dan pikiran untuk berhenti sejenak dan merenung: “Apakah aku benar-benar hidup sesuai dengan diriku sendiri?”
Cara Menghadapi Quarter Life Crisis
Setelah mengetahui penyebabnya, langkah berikutnya adalah menghadapinya dengan lebih bijak.
Beberapa cara yang bisa membantu antara lain:
-
Berhenti membandingkan diri dengan orang lain
Fokuslah pada prosesmu sendiri. -
Kenali nilai dan tujuan hidup pribadi
Tuliskan hal-hal yang benar-benar penting bagi dirimu. -
Bangun dukungan sosial yang sehat
Ceritakan perasaanmu kepada teman atau profesional. -
Kelola ekspektasi dan beri ruang untuk gagal
Gagal bukan berarti berhenti — itu bagian dari proses tumbuh. -
Jaga kesehatan mental dan fisik
Istirahat cukup, makan sehat, dan lakukan kegiatan yang menenangkan.
Quarter life crisis bukan tanda kelemahan, melainkan fase alami dalam perjalanan menuju kedewasaan. Banyak penyebab yang jarang disadari — mulai dari tekanan sosial, ekspektasi tinggi, hingga kehilangan makna hidup.
