Bagaimana Pola Asuh Mempengaruhi Quarter Life Crisis di Usia 20-an

Gubuku.id Pernah merasa bingung dengan arah hidup, khawatir soal masa depan, atau merasa tertinggal dari teman-teman sebaya? Jika iya, kamu mungkin sedang mengalami quarter life crisis. Fase ini biasanya terjadi pada usia 20–30 tahun, di mana seseorang mulai mempertanyakan identitas diri, karier, dan tujuan hidupnya.

Menurut psikolog klinis Alexandra Robbins (2020), quarter life crisis bukan sekadar fase bingung, tetapi masa transisi menuju kedewasaan yang penuh tekanan dan ketidakpastian. Namun, yang menarik adalah — bagaimana pola asuh orang tua di masa kecil ternyata punya pengaruh besar terhadap cara seseorang menghadapi masa ini.

Apa Itu Quarter Life Crisis?

Quarter life crisis adalah kondisi emosional ketika seseorang merasa terjebak, cemas, dan tidak yakin dengan pilihan hidupnya. Berdasarkan penelitian oleh Robinson et al. (2013) di Journal of Adult Development, fase ini biasanya dipicu oleh transisi penting seperti lulus kuliah, mencari pekerjaan, menikah, atau tinggal mandiri.

Individu yang mengalami quarter life crisis sering kali merasa:

  1. Tidak tahu apa yang benar-benar diinginkan dalam hidup.

  2. Merasa tertinggal dari teman-teman sebaya.

  3. Kehilangan motivasi dan arah karier.

  4. Cemas dengan ekspektasi sosial dan keluarga.

Namun, di balik semua itu, banyak ahli sepakat bahwa pola asuh di masa kecil turut memengaruhi seberapa kuat seseorang menghadapi tekanan di usia dewasa awal.

Pola Asuh dan Dampaknya terhadap Kepribadian

Menurut psikolog Diana Baumrind (1966), ada empat jenis pola asuh utama:

  1. Otoriter (Authoritarian) – Orang tua menuntut tinggi tanpa memberi ruang diskusi.

  2. Demokratis (Authoritative) – Orang tua mendukung, namun tetap memberi batasan yang jelas.

  3. Permisif (Permissive) – Orang tua terlalu membebaskan anak tanpa aturan.

  4. Tidak Terlibat (Neglectful) – Orang tua cuek dan minim keterlibatan emosional.

Setiap pola asuh membentuk kepribadian dan cara anak menghadapi tekanan hidup. Nah, di usia 20-an, ketika kehidupan mulai menuntut kemandirian, pola asuh ini bisa menjadi dasar kuat atau justru sumber ketidakpastian.

1. Pola Asuh Otoriter: Anak Tumbuh Takut Gagal

Anak yang dibesarkan dengan pola otoriter biasanya tumbuh menjadi pribadi yang takut salah dan sulit mengambil keputusan sendiri. Mereka terbiasa mengikuti aturan tanpa diajari berpikir mandiri.

Ketika masuk usia 20-an, mereka bisa mengalami quarter life crisis lebih berat karena:

  1. Takut membuat pilihan salah dalam karier atau hubungan.

  2. Selalu membutuhkan validasi dari orang lain.

  3. Cenderung mengalami imposter syndrome — perasaan tidak cukup baik meski berprestasi.

Menurut Journal of Psychology Research (2018), individu dengan latar belakang otoriter cenderung mengalami tingkat kecemasan dan kebingungan identitas lebih tinggi saat dewasa awal.

2. Pola Asuh Demokratis: Anak Lebih Siap Menghadapi Krisis

Sebaliknya, pola asuh demokratis dikenal paling ideal. Orang tua memberi kebebasan sekaligus bimbingan. Anak diajarkan tanggung jawab, empati, dan kemandirian sejak dini.

Ketika menghadapi quarter life crisis, mereka lebih siap karena:

  1. Terlatih mengambil keputusan sendiri.

  2. Memiliki rasa percaya diri tinggi.

  3. Mampu menerima kegagalan sebagai bagian dari proses belajar.

Baca Juga :  Seni Membangun Hubungan yang Sehat

Penelitian dari University of Cambridge (2021) menemukan bahwa individu dengan pola asuh demokratis memiliki daya tahan mental (resilience) lebih baik saat menghadapi transisi hidup seperti bekerja, menikah, atau pindah kota.

3. Pola Asuh Permisif: Anak Sulit Mengatur Diri

Orang tua yang terlalu membebaskan anak tanpa batasan jelas bisa membuat anak kesulitan membedakan mana yang benar dan salah.

Saat dewasa, individu ini mungkin merasa:

  1. Tidak punya arah atau disiplin hidup.

  2. Sulit mengatur waktu, keuangan, dan prioritas.

  3. Mudah stres karena kurang terbiasa menghadapi tekanan.

Menurut American Psychological Association (APA, 2019), anak dari orang tua permisif lebih rentan terhadap kecemasan dan penurunan motivasi karena kurangnya struktur dan dukungan emosional yang stabil sejak kecil.

4. Pola Asuh Tidak Terlibat: Anak Rentan Kehilangan Identitas

Pola asuh yang tidak melibatkan anak secara emosional bisa membuat anak merasa tidak berharga atau tidak penting. Akibatnya, saat dewasa mereka cenderung mencari validasi dari luar — seperti pekerjaan, pasangan, atau media sosial.

Dalam konteks quarter life crisis, ini bisa membuat seseorang merasa “kosong” meski punya prestasi atau status sosial baik. Mereka sulit menemukan makna hidup karena tidak terbiasa mengenal diri sendiri.

Penelitian oleh Harvard University (2020) menunjukkan bahwa hubungan emosional yang hangat dengan orang tua berperan besar dalam membentuk self-esteem dan stabilitas emosional anak di masa dewasa awal.

Dampak Langsung Pola Asuh terhadap Quarter Life Crisis

Dari keempat pola asuh di atas, bisa disimpulkan bahwa pola asuh demokratis memberikan pondasi paling kuat dalam menghadapi fase quarter life crisis.

Beberapa dampak nyata pola asuh terhadap quarter life crisis di usia 20-an antara lain:

  1. Kepercayaan diri: Anak dari pola asuh suportif lebih berani mencoba hal baru.

  2. Kemandirian emosional: Anak terbiasa menghadapi masalah tanpa tergantung pada orang tua.

  3. Pengambilan keputusan: Anak belajar menimbang risiko sejak kecil, sehingga lebih rasional.

  4. Stabilitas mental: Hubungan yang sehat dengan orang tua membentuk emosi yang lebih tenang.

Bagaimana Cara Mengatasi Pengaruh Pola Asuh yang Negatif?

Tidak semua orang tumbuh dengan pola asuh ideal, dan itu tidak masalah. Yang penting adalah menyadari pengaruhnya dan mulai memperbaikinya. Berikut langkah-langkah sederhana yang bisa kamu lakukan:

  1. Kenali pola asuh yang kamu alami.
    Coba refleksikan: apakah orang tuamu lebih otoriter, permisif, atau demokratis?

  2. Bangun kesadaran diri (self-awareness).
    Sadari pola pikir dan reaksi emosional yang mungkin berasal dari didikan masa lalu.

  3. Cari dukungan profesional.
    Konseling atau terapi bisa membantu memahami hubungan masa kecil dan tantangan saat ini.

  4. Bangun kemandirian perlahan.
    Buat keputusan kecil setiap hari — dari hal sederhana seperti mengatur waktu, memilih karier, hingga menentukan nilai hidupmu sendiri.

  5. Belajar memberi maaf dan menerima masa lalu.
    Tidak ada pola asuh yang sempurna. Penerimaan adalah langkah pertama menuju pemulihan diri.

Menurut Psychology Today (2022), memahami dan mengubah dampak pola asuh yang tidak sehat bisa membantu individu melewati fase quarter life crisis dengan lebih tenang dan penuh kesadaran diri.

Quarter life crisis adalah fase yang wajar dialami banyak orang di usia 20-an. Namun, bagaimana seseorang menghadapi fase ini sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diterima di masa kecil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *