Daftar Isi
- 1 1. Mengenali Sumber Rasa Gagal
- 2 2. Sadari Bahwa Gagal Itu Normal dan Bagian dari Proses
- 3 3. Berhenti Membandingkan Diri dengan Orang Lain
- 4 4. Ubah Pola Pikir tentang “Kegagalan”
- 5 5. Fokus pada Hal yang Bisa Kamu Kendalikan
- 6 6. Bangun Rutinitas Positif dan Tujuan Kecil
- 7 7. Bicarakan dengan Orang yang Dipercaya atau Profesional
- 8 8. Hargai Proses dan Nikmati Perjalanan
- 9 Gagal Bukan Akhir, tapi Awal yang Baru
Gubuku.id – Memasuki usia 25 sering kali terasa seperti titik persimpangan hidup. Banyak orang mulai membandingkan diri dengan teman-teman sebaya — ada yang sudah punya karier mapan, menikah, atau bahkan membeli rumah. Sementara sebagian lain masih mencari arah hidup, berpindah pekerjaan, atau bahkan merasa tertinggal jauh. Fenomena ini dikenal dengan istilah quarter life crisis, yaitu masa ketika seseorang di usia 20–30 tahun mengalami kebingungan, kecemasan, dan rasa gagal dalam menata masa depan (sumber: Psychology Today, 2021).
Rasa gagal di usia 25 sebenarnya adalah hal yang sangat umum. Namun, banyak yang belum tahu bagaimana menghadapinya dengan sehat. Artikel ini akan membantu kamu memahami akar rasa gagal itu dan bagaimana cara mengelolanya agar justru menjadi bahan bakar untuk berkembang.
1. Mengenali Sumber Rasa Gagal
Langkah pertama menghadapi rasa gagal adalah menyadari penyebabnya. Menurut penelitian dari Harvard Business Review (2020), banyak anak muda merasa gagal bukan karena benar-benar tidak berhasil, tetapi karena ekspektasi yang tidak realistis terhadap diri sendiri.
Beberapa sumber umum rasa gagal di usia 25-an antara lain:
-
Perbandingan sosial: terlalu sering membandingkan hidup dengan orang lain di media sosial.
-
Tekanan keluarga: dituntut untuk cepat sukses, menikah, atau mapan.
-
Tujuan hidup yang belum jelas: tidak tahu arah karier atau passion sebenarnya.
-
Kegagalan nyata: seperti kehilangan pekerjaan, bisnis tidak berjalan, atau hubungan yang kandas.
Mengetahui penyebabnya membuat kamu bisa melihat kegagalan dari sudut pandang yang lebih rasional, bukan emosional.
2. Sadari Bahwa Gagal Itu Normal dan Bagian dari Proses
Salah satu kesalahan terbesar generasi muda adalah menganggap kegagalan sebagai akhir segalanya. Padahal, kegagalan adalah bagian dari proses menuju keberhasilan. Seperti kata J.K. Rowling, “It is impossible to live without failing at something, unless you live so cautiously that you might as well not have lived at all.”
Dalam dunia psikologi, konsep ini disebut growth mindset — pola pikir yang percaya bahwa kemampuan bisa dikembangkan melalui usaha dan belajar (sumber: Carol Dweck, Stanford University). Orang yang memiliki growth mindset tidak berhenti saat gagal, tetapi justru belajar dari kesalahan.
Jadi, daripada mengutuk diri karena gagal, cobalah bertanya:
👉 “Apa yang bisa aku pelajari dari ini?”
👉 “Apa langkah kecil yang bisa kulakukan untuk memperbaiki situasi?”
3. Berhenti Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Media sosial sering menjadi “jebakan perbandingan.” Melihat teman yang tampak sukses bisa membuat kita merasa tidak berharga. Padahal, apa yang ditampilkan di dunia maya sering kali hanya potongan terbaik dari hidup seseorang, bukan keseluruhan cerita.
Sebuah riset dari University of Pennsylvania (2018) menemukan bahwa membatasi penggunaan media sosial hanya 30 menit per hari dapat menurunkan tingkat depresi dan rasa kesepian secara signifikan.
Cobalah detoks digital beberapa hari, fokus pada diri sendiri, dan tulis hal-hal yang kamu syukuri setiap hari. Dengan begitu, kamu akan lebih tenang dan objektif menilai dirimu.
4. Ubah Pola Pikir tentang “Kegagalan”
Coba ubah definisi gagal dalam pikiranmu. Gagal bukan berarti kamu tidak mampu, tetapi kamu sedang dalam proses belajar menemukan arah yang tepat.
Misalnya:
-
Kamu belum menemukan pekerjaan yang cocok? Itu bukan berarti kamu tidak kompeten, mungkin kamu sedang mencari lingkungan kerja yang sesuai nilai dan potensimu.
-
Hubunganmu kandas? Bisa jadi itu proses menemukan pasangan yang benar-benar sejalan dengan visi hidupmu.
Dalam buku The Defining Decade karya Meg Jay (psikolog klinis dari University of Virginia), dijelaskan bahwa usia 20-an adalah masa eksplorasi. Artinya, tidak masalah mencoba, salah arah, lalu memperbaiki langkah. Justru di sinilah waktu terbaik untuk gagal, belajar, dan membentuk identitas diri yang lebih kuat.
5. Fokus pada Hal yang Bisa Kamu Kendalikan
Saat merasa gagal, manusia cenderung fokus pada hal yang tidak bisa dikendalikan — seperti opini orang lain, nasib, atau masa lalu. Padahal, yang paling penting adalah mengelola hal yang bisa kamu ubah.
Coba gunakan prinsip Circle of Control dari Stephen Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People. Fokuskan energi pada:
-
Keputusan pribadi
-
Reaksi terhadap situasi
-
Usaha yang kamu lakukan setiap hari
Dengan mengubah fokus ini, kamu akan merasa lebih berdaya dan tidak terlalu terbebani oleh hal di luar kendali.
6. Bangun Rutinitas Positif dan Tujuan Kecil
Rasa gagal sering datang ketika hidup terasa “tidak bergerak.” Untuk mengatasinya, buatlah tujuan kecil dan realistis. Misalnya:
-
Bangun lebih pagi 15 menit setiap hari.
-
Membaca satu buku sebulan.
-
Meningkatkan satu keterampilan yang relevan dengan kariermu.
Menurut American Psychological Association (APA, 2022), rutinitas kecil yang konsisten dapat meningkatkan rasa percaya diri dan stabilitas emosional. Setiap keberhasilan kecil akan menumbuhkan rasa mampu dan perlahan mengikis perasaan gagal.
7. Bicarakan dengan Orang yang Dipercaya atau Profesional
Tidak semua orang mampu menghadapi tekanan emosional sendirian, dan itu tidak apa-apa. Membicarakan perasaanmu dengan orang yang kamu percayai bisa sangat membantu.
Jika rasa gagal sudah sampai pada tahap mengganggu tidur, menurunkan motivasi, atau membuatmu cemas berlebihan, pertimbangkan untuk berkonsultasi dengan psikolog.
Menurut World Health Organization (WHO, 2023), mencari bantuan profesional bukan tanda kelemahan, tapi bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri.
8. Hargai Proses dan Nikmati Perjalanan
Hidup bukan perlombaan. Setiap orang memiliki garis waktu yang berbeda. Apa yang berhasil untuk orang lain belum tentu cocok untukmu.
Mungkin kamu belum sampai di tujuan yang kamu mau, tapi kamu sudah jauh lebih maju dibanding dirimu yang dulu. Itu juga sebuah kemenangan.
Coba refleksikan perjalananmu sejauh ini:
-
Apa hal yang sudah kamu pelajari?
-
Apa keberhasilan kecil yang sering kamu lupakan?
-
Siapa orang yang selalu mendukungmu tanpa pamrih?
Dengan bersyukur, kamu akan melihat bahwa hidupmu tidak seburuk yang kamu pikirkan.
Gagal Bukan Akhir, tapi Awal yang Baru
Rasa gagal di usia 25-an adalah hal yang sangat manusiawi. Hidup tidak harus selalu sesuai rencana. Kadang kamu harus jatuh dulu untuk menemukan arah yang lebih tepat.
Ingatlah bahwa kesuksesan bukan diukur dari seberapa cepat kamu sampai, tapi dari seberapa konsisten kamu terus berjalan meski sempat terjatuh.
