Faktor Psikologis di Balik Quarter Life Crisis

Gubuku.id – Menurut psikolog klinis Dr. Alex Fowke (University College London, 2019), quarter life crisis adalah periode ketidakpastian emosional dan eksistensial yang biasanya muncul ketika seseorang harus mengambil keputusan besar, seperti memilih karier, pasangan, atau arah hidup.

Meskipun terdengar seperti masalah ringan, nyatanya krisis ini bisa berdampak besar terhadap kesehatan mental, produktivitas, dan hubungan sosial seseorang. Lalu, sebenarnya apa saja faktor psikologis yang menyebabkan quarter life crisis?

1. Tekanan Sosial dan Perbandingan Diri

Salah satu faktor psikologis utama di balik quarter life crisis adalah social comparison atau kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain.
Menurut teori Social Comparison Theory yang dikemukakan oleh Leon Festinger (1954), manusia cenderung menilai dirinya berdasarkan pencapaian orang lain di sekitarnya.

Di era media sosial seperti sekarang, tekanan ini semakin besar. Saat membuka Instagram atau LinkedIn, kita mudah melihat teman seangkatan sudah punya karier mapan, menikah, atau bahkan membeli rumah. Sementara itu, kita sendiri masih merasa “jalan di tempat”.
Perasaan ini bisa menimbulkan insecure, rasa gagal, dan penurunan harga diri (self-esteem).

Dampaknya, banyak anak muda yang mulai mempertanyakan nilai dirinya:

“Apakah aku sudah cukup berhasil?”
“Apakah aku tertinggal jauh?”

Padahal, menurut penelitian American Psychological Association (APA, 2021), setiap orang memiliki jalur perkembangan yang berbeda. Membandingkan diri terus-menerus justru bisa memperparah kecemasan dan membuat seseorang sulit menikmati proses hidupnya.

2. Krisis Identitas (Identity Crisis)

Faktor psikologis kedua adalah krisis identitas.
Teori Erik Erikson (1959) menjelaskan bahwa pada masa dewasa awal, seseorang sedang berada dalam tahap perkembangan psikososial “Intimacy vs. Isolation”. Artinya, individu sedang berusaha membangun hubungan dekat, sambil tetap mencari tahu siapa dirinya sebenarnya.

Banyak anak muda merasa terjebak di antara harapan orang lain dan keinginan pribadi. Mereka berjuang antara mengejar passion atau memilih jalan yang lebih aman. Akibatnya, muncul konflik batin yang membuat mereka merasa kehilangan arah.

Contohnya, seseorang mungkin bekerja di perusahaan besar tetapi diam-diam merasa tidak bahagia karena merasa pekerjaannya tidak sesuai dengan nilai atau minat pribadinya. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menimbulkan stres dan kebingungan identitas.

Menurut Psychology Today (2020), krisis identitas ini sering muncul ketika seseorang belum mengenal dirinya secara mendalam. Mereka sulit menjawab pertanyaan sederhana seperti:

  1. “Apa yang benar-benar membuatku bahagia?”

  2. “Apa yang ingin aku capai dalam hidup?”

  3. “Siapa aku sebenarnya?”

3. Perfeksionisme dan Takut Gagal

Banyak orang yang mengalami quarter life crisis memiliki sifat perfeksionis. Mereka ingin semua hal berjalan sempurna—karier harus stabil, hubungan harus bahagia, dan kehidupan harus terlihat ideal.

Namun, perfeksionisme yang berlebihan bisa menjadi jebakan psikologis. Menurut Dr. Thomas Curran dari London School of Economics (2018), generasi muda saat ini memiliki tingkat perfeksionisme tertinggi dibanding generasi sebelumnya. Media sosial dan budaya “pencapaian” membuat mereka merasa harus selalu sukses tanpa kesalahan.

Ketika kenyataan tidak sesuai harapan, muncul fear of failure (ketakutan akan kegagalan).
Ketakutan ini membuat seseorang menjadi overthinking, menunda keputusan, atau bahkan menghindari tantangan. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menyebabkan stres kronis dan rasa tidak berdaya.

Seperti yang dijelaskan oleh Cognitive Behavioral Therapy (CBT), pikiran negatif tentang kegagalan dapat memperkuat siklus kecemasan. Seseorang yang terus berpikir “Aku tidak cukup baik” akan sulit berani mengambil langkah maju, sehingga merasa semakin tertinggal.

Baca Juga :  Mengapa Banyak Anak Muda Mengalami Quarter Life Crisis?

4. Ketidakpastian Masa Depan

Faktor psikologis lain yang sering menjadi pemicu quarter life crisis adalah ketidakpastian masa depan.
Pada usia 20-an, banyak keputusan besar yang harus diambil: memilih karier, tempat tinggal, pasangan, bahkan arah hidup jangka panjang.

Menurut University of Greenwich (2022), otak manusia masih berkembang hingga usia 25 tahun, terutama di bagian prefrontal cortex—bagian yang mengatur pengambilan keputusan dan perencanaan. Artinya, di usia ini, seseorang masih dalam proses belajar memahami konsekuensi dari pilihan hidupnya.

Ketika dihadapkan pada banyak pilihan tanpa kepastian, muncul rasa cemas dan takut salah langkah. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai “decision paralysis”, kondisi ketika seseorang sulit mengambil keputusan karena terlalu banyak kemungkinan yang harus dipertimbangkan.

Contohnya:

  1. Bingung memilih antara lanjut kuliah atau kerja.

  2. Tidak yakin apakah hubungan saat ini akan berlanjut ke pernikahan.

  3. Merasa kehilangan arah karena karier yang dijalani tidak sesuai harapan.

Semua ketidakpastian ini menimbulkan tekanan mental yang berat dan sering membuat seseorang merasa “tersesat”.

5. Kelelahan Emosional dan Burnout

Quarter life crisis juga bisa dipicu oleh kelelahan emosional (emotional exhaustion).
Menurut penelitian oleh World Health Organization (WHO, 2020), burnout bukan hanya dialami oleh karyawan, tetapi juga oleh mahasiswa dan pekerja muda yang merasa harus terus berjuang tanpa jeda.

Banyak anak muda yang bekerja keras karena ingin membuktikan diri. Namun, ketika hasilnya tidak sebanding dengan usaha, muncul rasa kecewa dan lelah.
Kelelahan ini bisa mengarah pada depresi ringan, hilangnya motivasi, dan bahkan isolasi sosial.

Dalam banyak kasus, mereka tidak sadar bahwa kondisi tersebut adalah tanda-tanda quarter life crisis yang berakar dari tekanan psikologis dan ketidakseimbangan antara kebutuhan diri dan ekspektasi lingkungan.

6. Kurangnya Dukungan Sosial dan Emosional

Dukungan sosial berperan besar dalam kesehatan mental seseorang.
Menurut teori Attachment oleh John Bowlby (1988), individu yang memiliki hubungan sosial yang sehat cenderung lebih tahan terhadap stres.

Sebaliknya, ketika seseorang merasa sendirian, tidak dimengerti, atau tidak memiliki support system, risiko mengalami krisis meningkat.
Banyak orang di usia 20-an yang merantau, tinggal jauh dari keluarga, atau kehilangan lingkar pertemanan lama. Kondisi ini bisa memperparah rasa kesepian dan ketidakpastian.

Memiliki teman atau mentor yang bisa diajak bicara sangat penting untuk membantu seseorang keluar dari fase quarter life crisis. Kadang, sekadar didengarkan bisa membuat seseorang merasa lebih lega dan diterima.

Cara Menghadapi Quarter Life Crisis dari Sisi Psikologis

Setelah memahami berbagai faktor di atas, kamu bisa mulai melakukan beberapa langkah sederhana untuk menenangkan diri dan menata ulang arah hidup:

  1. Terima bahwa kebingungan adalah hal normal.
    Setiap orang punya waktunya sendiri. Tidak ada jalan hidup yang sama persis.

  2. Kenali diri lebih dalam.
    Tulis apa yang kamu sukai, apa yang membuatmu bersemangat, dan apa yang kamu hindari.

  3. Kurangi perbandingan sosial.
    Fokus pada prosesmu, bukan pencapaian orang lain.

  4. Bangun rutinitas sehat.
    Tidur cukup, olahraga, dan jaga pola makan bisa sangat membantu menstabilkan emosi.

  5. Cari dukungan profesional.
    Jika rasa cemas terlalu berat, konsultasi ke psikolog bisa jadi langkah bijak.

Quarter life crisis bukan tanda kelemahan, tetapi bagian alami dari proses tumbuh dewasa.
Di balik rasa bingung dan cemas, sebenarnya sedang terjadi proses pembentukan identitas dan kematangan emosional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *